Senin, 13 April 2015

SUKU WOLIO (Sulawesi Tenggara)

SUKU WOLIO
1. LOKASI SUKU WOLIO
            Suku Wolio adalah suatu suku yang tersebar di kepulauan Buton, Muna dan Kabaena di provinsi Sulawesi Tenggara. Juga terdapat di pulau-pulau kecil di provinsi Selatan. Populasi suku Wolio diperkirakan lebih dari 30.000 orang. Suku Wolio berbicara dengan bahasa Wolio. Bahasa Wolio merupakan sub-bahasa Buton-Muna, yang termasuk cabang bahasa Austronesia.
            Menurut para peneliti bahwa suku Wolio ini merupakan bagian dari sub-suku Buton. Dikatakan bahwa dahulunya orang Wolio juga merupakan keturunan dari Kerajaan Buton yang sejak abad 15 menguasai wilayah Buton. Hingga saat ini bahasa Wolio masih dipakai oleh masyarakat khususnya yang ada di Kota Bau-Bau, namum bahasa Wolio ini tetap dikenal oleh masyarakat dari berbagai penjuru daerah bekas pemerintahan kerajaan atau kesultanan Buton.
            Bahasa Wolio juga menjadi bahasa komunikasi utama di lingkungan Kesultanan Buton. Pilihan penggunaan bahasa Wolio sebagai bahasa utama karena bahasa ini dipakai oleh masyarakat yang mendiami pusat Kesultanan Buton. Masyarakat yang berada dalam wilayah Kesultanan Buton terdiri atas beberapa subetnis sehingga dibutuhkan bahasa pemersatu. Lalu bahasa Buton dipilih sebagai bahasa pemersatu berbagai etnik tersebut, dan bahasa resmi kesultanan.
            Perkawinan dalam kebudayaan Buton bersifat monogami. Setelah menikah, pasangan tinggal di rumah keluarga mempelai perempuan sampai sang suami mampu memiliki rumah sendiri. Rumah tempat tinggal suku Wolio didirikan di atas sebidang tanah dengan menggunakan papan yang kuat, dengan sedikit jendela dan langit-langit yang terbuat dari papan yang kecil dan ditutupi daun kelapa kering.
            Masyarakat suku Wolio pada umumnya beragama Islam. Agama Islam yang berkembang di wilayah ini adalah dari golongan Sufi. Namun beberapa dari mereka masih mempercayai hal-hal gaib dan percaya terhadap roh-roh di sekeliling mereka. Mereka juga mempercayai roh para leluhur mereka yang dapat menolong dan menimbulkan penyakit tergantung dari sikap dan perilaku mereka.
2. ADAT ISTIADAT SUKU WOLIO
            Salah satu tradisi suku Wolio yang populer di kalangan suku Wolio adalah upacara Pekandake-Kandea, dalam bahasa Wolio berarti makan-makan. Tradisi ini memiliki banyak makna, tidak sekadar sebagai bentuk nyata rasa syukur kepada Tuhan setelah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan atau puasa syawal. Tradisi ini juga merupakan media yang digunakan muda-mudi Buton untuk mencari jodoh. Dahulu tradisi ini merupakan pesta menyambut pahlawan yang kembali membawa kemenangan setelah berperang.
            Orang Wolio pada umumnya telah mengenal teknik pertanian. Mereka bertahan hidup pada bidang pertanian. Tanaman padi juga menjadi tanaman utama mereka. Suku Wolio juga menanam jagung, ubi kayu, ubi jalar, sayur-sayuran dan berbagai jenis buah-buahan. Selain itu sebagian dari mereka hidup sebagai nelayan penangkap ikan, seperti ikan tuna dan ikan ekor kuning dan juga sebagai pembuat perahu dan kapal.
            Perkampungan pemukiman mereka banyak terdapat penjual hasil tenunan dari sutera, katun dan sejenisnya. Selain itu juga memiliki toko-toko kecil dan penjaja keliling, di mana hal ini terlihat dari gerobak-gerobak yang mereka buat untuk berjualan.
            Saat ini, banyak orang-orang Wolio asli yang tinggal di Indonesia bagian timur (Maluku dan Irian Jaya). Dalam masyarakat Wolio, laki-laki yang mencari nafkah, sedangkan wanita menyiapkan makan, melakukan pekerjaan rumah tangga, membuat barang-barang dari tanah liat, menenun dan menyimpan uang yang telah dikumpulkan oleh kaum laki-laki.
            Sejak dulu, orang Wolio juga sangat mementingkan pendidikan. Pendidikan yang baik terhadap anak laki-laki dan perempuan membuat mereka memiliki kesusasteraan yang maju. Tidak ketinggalan pula dalam hal mempelajari bahasa asing. Karena itu, saat ini mulai terlihat hasil-hasil kemajuan di bidang sosial.
3. SISTEM KEKERABATAN SUKU WOLIO
Hubungan kekerabatan antar etnik di Sulawesi Tenggara telah berlangsung sejak awal terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat di Sulawesi Tenggara, kemudian semakin meningkat saat terbetuk kerajaan-kerajaan tradisional di Mekongga, Konawe, Wuna, Wolio, dan Moronen. Kemudian diperkuat dengan adanya jalinan pelayaran dan perdagangan sehingga terjadi interaksi yang melahirkan kekerabatan melalui perkawinan antar etnik.
            Dalam perjalanan sejarahnya sejak terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Sulawesi Tenggara, kemudian datangnya gelombang migrasi selanjutnya pada zaman kerajaan-kerajaan tradisional, sampai dengan era kemerdekaan yang semakin meningkatkan arus imigrasi di Sulawesi Tenggara, justru semakin memperkaya dan menumbuh-kembangkan hubungan kekerabatan yang terjalin melalui perkawinan, dan tidak meninggalkan data tentang adanya gesekan yang berarti antar etnik yang ada. Kenyataan itu terjadi, karena pada dasarnya bahwa kelompok-kelompok etnik yang ada merupakan suatu rumpun yang memiliki pertalian darah dan perkawinan sehingga merupakan suatu jalinan etnis besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar