SUKU WOLIO
1. LOKASI SUKU WOLIO
Suku Wolio adalah suatu
suku yang tersebar di kepulauan Buton, Muna dan Kabaena di provinsi Sulawesi
Tenggara. Juga terdapat di pulau-pulau kecil di provinsi Selatan. Populasi suku
Wolio diperkirakan lebih dari 30.000 orang. Suku Wolio berbicara dengan bahasa
Wolio. Bahasa Wolio merupakan sub-bahasa Buton-Muna, yang termasuk cabang
bahasa Austronesia.
Menurut para peneliti bahwa suku
Wolio ini merupakan bagian dari sub-suku Buton. Dikatakan bahwa dahulunya orang
Wolio juga merupakan keturunan dari Kerajaan Buton yang sejak abad 15 menguasai
wilayah Buton. Hingga saat ini bahasa Wolio masih dipakai oleh masyarakat
khususnya yang ada di Kota Bau-Bau, namum bahasa Wolio ini tetap dikenal oleh
masyarakat dari berbagai penjuru daerah bekas pemerintahan kerajaan atau kesultanan
Buton.
Bahasa Wolio juga menjadi bahasa
komunikasi utama di lingkungan Kesultanan Buton. Pilihan penggunaan bahasa
Wolio sebagai bahasa utama karena bahasa ini dipakai oleh masyarakat yang
mendiami pusat Kesultanan Buton. Masyarakat yang berada dalam wilayah
Kesultanan Buton terdiri atas beberapa subetnis sehingga dibutuhkan bahasa
pemersatu. Lalu bahasa Buton dipilih sebagai bahasa pemersatu berbagai etnik
tersebut, dan bahasa resmi kesultanan.
Perkawinan dalam kebudayaan Buton
bersifat monogami. Setelah menikah, pasangan tinggal di rumah keluarga mempelai
perempuan sampai sang suami mampu memiliki rumah sendiri. Rumah tempat tinggal
suku Wolio didirikan di atas sebidang tanah dengan menggunakan papan yang kuat,
dengan sedikit jendela dan langit-langit yang terbuat dari papan yang kecil dan
ditutupi daun kelapa kering.
Masyarakat suku Wolio pada umumnya
beragama Islam. Agama Islam yang berkembang di wilayah ini adalah dari golongan
Sufi. Namun beberapa dari mereka masih mempercayai hal-hal gaib dan percaya
terhadap roh-roh di sekeliling mereka. Mereka juga mempercayai roh para leluhur
mereka yang dapat menolong dan menimbulkan penyakit tergantung dari sikap dan
perilaku mereka.
2. ADAT ISTIADAT SUKU
WOLIO
Salah satu tradisi suku Wolio yang
populer di kalangan suku Wolio adalah upacara Pekandake-Kandea, dalam bahasa
Wolio berarti makan-makan. Tradisi ini memiliki banyak makna, tidak sekadar
sebagai bentuk nyata rasa syukur kepada Tuhan setelah menjalankan ibadah puasa
selama satu bulan atau puasa syawal. Tradisi ini juga merupakan media yang
digunakan muda-mudi Buton untuk mencari jodoh. Dahulu tradisi ini merupakan
pesta menyambut pahlawan yang kembali membawa kemenangan setelah berperang.
Orang Wolio pada umumnya telah
mengenal teknik pertanian. Mereka bertahan hidup pada bidang pertanian. Tanaman
padi juga menjadi tanaman utama mereka. Suku Wolio juga menanam jagung, ubi
kayu, ubi jalar, sayur-sayuran dan berbagai jenis buah-buahan. Selain itu
sebagian dari mereka hidup sebagai nelayan penangkap ikan, seperti ikan tuna
dan ikan ekor kuning dan juga sebagai pembuat perahu dan kapal.
Perkampungan pemukiman mereka banyak
terdapat penjual hasil tenunan dari sutera, katun dan sejenisnya. Selain itu
juga memiliki toko-toko kecil dan penjaja keliling, di mana hal ini terlihat
dari gerobak-gerobak yang mereka buat untuk berjualan.
Saat ini, banyak orang-orang Wolio
asli yang tinggal di Indonesia bagian timur (Maluku dan Irian Jaya). Dalam
masyarakat Wolio, laki-laki yang mencari nafkah, sedangkan wanita menyiapkan
makan, melakukan pekerjaan rumah tangga, membuat barang-barang dari tanah liat,
menenun dan menyimpan uang yang telah dikumpulkan oleh kaum laki-laki.
Sejak dulu, orang Wolio juga sangat
mementingkan pendidikan. Pendidikan yang baik terhadap anak laki-laki dan
perempuan membuat mereka memiliki kesusasteraan yang maju. Tidak ketinggalan
pula dalam hal mempelajari bahasa asing. Karena itu, saat ini mulai terlihat
hasil-hasil kemajuan di bidang sosial.
3. SISTEM KEKERABATAN
SUKU WOLIO
Hubungan kekerabatan
antar etnik di Sulawesi Tenggara telah berlangsung sejak awal terbentuknya
kelompok-kelompok masyarakat di Sulawesi Tenggara, kemudian semakin meningkat
saat terbetuk kerajaan-kerajaan tradisional di Mekongga, Konawe, Wuna, Wolio,
dan Moronen. Kemudian diperkuat dengan adanya jalinan pelayaran dan perdagangan
sehingga terjadi interaksi yang melahirkan kekerabatan melalui perkawinan antar
etnik.
Dalam perjalanan sejarahnya sejak
terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Sulawesi Tenggara,
kemudian datangnya gelombang migrasi selanjutnya pada zaman kerajaan-kerajaan
tradisional, sampai dengan era kemerdekaan yang semakin meningkatkan arus
imigrasi di Sulawesi Tenggara, justru semakin memperkaya dan
menumbuh-kembangkan hubungan kekerabatan yang terjalin melalui perkawinan, dan
tidak meninggalkan data tentang adanya gesekan yang berarti antar etnik yang
ada. Kenyataan itu terjadi, karena pada dasarnya bahwa kelompok-kelompok etnik
yang ada merupakan suatu rumpun yang memiliki pertalian darah dan perkawinan
sehingga merupakan suatu jalinan etnis besar.